Pelangi Jembatan Merdeka, Lunturkan Integritas Kota
WARGA Kota Banjarmasin kembali dikejutkan dengan langkah yang
diambil oleh pemerintah kota yang mencat warna-warni Jembatan Merdeka.
Bukan pertama ini saja, warga kota ‘berpolemik’ dengan pemerintah kota
berkaitan dengan ruang publiknya.
USAI patung Bekantan yang memberi kesan mirip konsepnya dengan patung Merlion di Singapura yang mengelurakan air dari mulut singanya. Pun, begitu patung Bekantan ini juga mengeluarkan air dari mulutnya dan diletakkan di tepi Sungai Martapura. Selanjutnya patung ‘Iwak Kalabau’ yang tiba-tiba diabadikan di persimpangan jalan, untuk mengenang keberadaannya ‘dulu’ di Kota Seribu Sungai ini.
Sepertinya Banjarmasin belum belajar dari kedua fenomena pembangunan ruang kota sebelum-sebelumnya. Ruang kota terasa milik individu. Warga kota hanya dijadikan penonton, dan dipaksa menikmati. Perancangan kota yang mengakar ke akar rumput menjadi sangat jauh, bahkan tidak ada. Untungnya, warga masih bisa bersuara di media-media sosial mengutarakan isi hatinya. Ini adalah sisi positif dan potensi yang menunjukkan kepedulian warga terhadap pembangunan kotanya.
Jika kita membuka sedikit teori tentang kota. Kota adalah ruang hidup, tempat berinteraksi antar komunitas. ‘Warna-warni’ kota mencerminkan kehidupan warganya. Secara formal, kota merupakan ruang dengan batas-batas administrasi dengan ikatan regulasi dan aturan yang jelas serta tegas.
Untuk mendukung aktivitas dan kenyamanan kota, fasilitas dan infrastruktur kota dibangun. Hamid Shirvani menyederhanakan dari 3 ‘mazhab’ kota yang berkembang, bahwa sedikitnya untuk membangun integritas, kota harus memperhatikan: Acces, Compatible, View, Identity, Sense, Livability.
Dari 6 kriteria sederhana di atas, jelas bahwa, membangun kota tanpa ‘bekal’ kuat akan melunturkan integritas kota. Kota terombang-ambing terhadap trend di kota lain. Kota hanya menjadi pengalaman individu yang dilihat di kota lain, dan dibawa pulang, dengan dikemas seadanya, begitu vulgar. Sejatinya kita sibuk menggali akar-akar karakter kota, untuk diperkuat sebagai jati diri yang tidak ditemukan di lain tempat.
Warna-warni
di Jembatan Merdeka hari ini, tidak memiliki integral kuat dengan raung
publik disekitarnya. Seperti: landmark kota kawasan Masjid Sabilal
Muhtadin yang sudah monumental dan kawasan baru ruang terbuka hijau
Siring Tendean dengan activity support-nya pasar terapung.
Gagasan integral kedua kawasan itu setidaknya bisa harmoni di Jembatan Merdeka. Jembatan tidak perlu menonjolkan dirinya sehingga terkesan tidak match dengan kedua lingkungan binaan yang sudah ada, akibatnya membentuk ruang publik yang individualis. Mungkin akan lebih bermanfaat jika cat-cat tersebut digunakan untuk mencat bangunan-bangunan yang terlihat kumuh, tentu juga tidak sembarang cat, mesti punya konsep yang kuat.
http://jejakrekam.com/2017/12/01/pelangi-jembatan-merdeka-lunturkan-integritas-kota/
USAI patung Bekantan yang memberi kesan mirip konsepnya dengan patung Merlion di Singapura yang mengelurakan air dari mulut singanya. Pun, begitu patung Bekantan ini juga mengeluarkan air dari mulutnya dan diletakkan di tepi Sungai Martapura. Selanjutnya patung ‘Iwak Kalabau’ yang tiba-tiba diabadikan di persimpangan jalan, untuk mengenang keberadaannya ‘dulu’ di Kota Seribu Sungai ini.
Sepertinya Banjarmasin belum belajar dari kedua fenomena pembangunan ruang kota sebelum-sebelumnya. Ruang kota terasa milik individu. Warga kota hanya dijadikan penonton, dan dipaksa menikmati. Perancangan kota yang mengakar ke akar rumput menjadi sangat jauh, bahkan tidak ada. Untungnya, warga masih bisa bersuara di media-media sosial mengutarakan isi hatinya. Ini adalah sisi positif dan potensi yang menunjukkan kepedulian warga terhadap pembangunan kotanya.
Jika kita membuka sedikit teori tentang kota. Kota adalah ruang hidup, tempat berinteraksi antar komunitas. ‘Warna-warni’ kota mencerminkan kehidupan warganya. Secara formal, kota merupakan ruang dengan batas-batas administrasi dengan ikatan regulasi dan aturan yang jelas serta tegas.
Untuk mendukung aktivitas dan kenyamanan kota, fasilitas dan infrastruktur kota dibangun. Hamid Shirvani menyederhanakan dari 3 ‘mazhab’ kota yang berkembang, bahwa sedikitnya untuk membangun integritas, kota harus memperhatikan: Acces, Compatible, View, Identity, Sense, Livability.
Dari 6 kriteria sederhana di atas, jelas bahwa, membangun kota tanpa ‘bekal’ kuat akan melunturkan integritas kota. Kota terombang-ambing terhadap trend di kota lain. Kota hanya menjadi pengalaman individu yang dilihat di kota lain, dan dibawa pulang, dengan dikemas seadanya, begitu vulgar. Sejatinya kita sibuk menggali akar-akar karakter kota, untuk diperkuat sebagai jati diri yang tidak ditemukan di lain tempat.
Gagasan integral kedua kawasan itu setidaknya bisa harmoni di Jembatan Merdeka. Jembatan tidak perlu menonjolkan dirinya sehingga terkesan tidak match dengan kedua lingkungan binaan yang sudah ada, akibatnya membentuk ruang publik yang individualis. Mungkin akan lebih bermanfaat jika cat-cat tersebut digunakan untuk mencat bangunan-bangunan yang terlihat kumuh, tentu juga tidak sembarang cat, mesti punya konsep yang kuat.
http://jejakrekam.com/2017/12/01/pelangi-jembatan-merdeka-lunturkan-integritas-kota/
Komentar