Adaptasi Lingkungan dengan Bangunan Panggung dan Folder

Disini sengaja tidak disebut rumah panggung, karena penggunaan rumah panggung memiliki arti yang lebih sempit dari pada bangunan. Kata bangunan akan mencakup semua objek yang berdiri di atas (permukaan) bumi yang dapat ditempati oleh manusia. Bangunan bisa berupa gedung, toko dan rumah itu sendiri, mulai dari yang bertingkat rendah sampai tinggi.

Di Banjarmasin, sebagian besar rumah sebenarnya sudah bangunan panggung. Terlihat jika kita berkunjung di sekitar kawasan kota tua, daerah sepanjang sungai Kuin sampai dan sungai Martapura, terlihat jelas karakter rumah panggung. Penggunaan rumah panggung, selain sebagai adaptasi lingkungan dengan kondisi air pasang dan surut serta mudahnya bahan kayu di dapat, juga disebabkan oleh harga yang lebih murah (dulu: sebelum kayu langka akibat illegal logging) dibandingkan bahan bangunan lainnya.

Aplikasi bangunan tanpa panggung adalah karya cipta 'baru' di Kota Banjarmasin, oleh pendatang dari luar kota atau pulau Kalimantan, yang membawa kebiasaan atau pengetahuan membangun dengan metode peng-urug-kan untuk pondasi bangunan. Tujuannya agar bangunan lebih kokoh sehingga mampu menahan beban yang lebih banyak (berat). Pada mulanya, peng-urug-kan ini tidak begitu memberi pengaruh terhadap lingkungan kota, namun semakin bertambahnya bangunan baru yang melakukan cara tersebut menyebabkan semakin berkurangnya ruang genangan air (bukan resapan) karena kondisi topografi Kota Banjarmasin adalah rawa yang sepanjang tahun digenangi air.

Semakin berkurangnya ruang untuk genangan air menyebabkan volume air berpindah atau mencari ruang-ruang genangan baru, dan ketika ruang genangan air tidak lagi ada maka akan terjadi peningkatan muka air dari tahun ketahun. Meningkatnya muka air akan menyebabkan banjir ROB, banjir yang disebabkan oleh air pasang. Banjir ROB di Kota Banjarmasin sering terjadi pada waktu air pasang naik. Kondisi banjir ROB akan lebih bermasalah jika air pasang terjadi bersamaan dengan hujan maka dapat dipastikan terjadi genangan dibeberapa titik wilayah kota yang memang memiliki daerah ruang air yang semakin berkurang.

Semakin banyaknya ruang air yang diurug untuk kepentingan pembangunan, memberi kesadaran akan dampak yang ditimbulkan, maka muncullah gagasan untuk membuat perda ‘rumah panggung’ meskipun bisa dikatakan sudah cukup terlambat, karena fakta di lapangan dampak dari bangunan yang diurug sudah sangat mengkhawatirkan. Perda rumah panggung telah disahkan, namun penerapannya ternyata jauh api dari panggang. Ada usulan lain untuk membuat banjir kanal namun efektivitasnya masih perlu dikaji. Pembuatan banjir kanal selain membutuhkan biaya besar juga menyebabkan terjadinya efek sosial bagi masyarakat kecil yang lahan atau rumahnya tergusur akibat proyek ini. Selain masalah ekonomi dan sosial yang dimunculkan kondisi ini juga tidak sesuai dengan kondisi eksisting dan geografis kawasan Kota Banjarmasin.

Kota Banjarmasin berbeda dengan Jakarta atau Semarang. Kedua kota ini memang sesuai untuk penggunaan kanal-kanal untuk mengalirkan air dari dataran tinggi yang ada di belakang kota. Jakarta misalnya aliran air dari Bogor, Semarang mengalirkan air dari pegunungan Ungaran. Bagaimana dengan Kota Banjarmasin? Banjarmasin tidak begitu bermasalah dengan dataran tinggi yang ada disekitar kota karena Banjarmasin sudah banyak memiliki sungai dan kanal (antasan) yang mengalirkanya, terutama 2 sungai besar yaitu Sungai Barito dan Sungai Martapura. Yang perlu dikhawatirkan adalah jika kedua sungai ini meluap akibat dari semakin kurang ruang air di daerah muara (Banjarmasin), dan semakin parahnya pengendapan lumpur di daerah muara Sungai Barito. Rehabilitasi dan pengaktifan kembali anak-anak sungai yang telah 'mati' akibat sampah dan pembangunan perlu dilakukan. Lebih detail, diperlukan penertiban bangunan yang berada disekitar aliran air (sungai). Peraturan bangunan panggung juga harus tegakkan dan diterapkan di tengah masyarakat. Peningkatan kesadaran bagi masyarakat baik masyarakat profesi yang berkaitan langsung dengan pembangunan kota maupun masyarakat umum. Terakhir, untuk mengurangi semakin meningkatnya muka air, maka pemerintah bisa mempertimbangkan dengan mambuat ‘kawah-kawah buatan’ atau folder-folder (kolam) di daerah pinggiran kota untuk lebih banyak menampung air.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemko Layani 335 Pengaduan Online, Akbar Rahman : Banyaknya Pengaduan Bukan Standar Baiknya Layanan Publik

Belajar dari Jepang, Begini Harusnya Warga Urban Banjarmasin Kelola Kantong Plastik