Dari Paris ke Jembatan Pelangi Banjarmasin


PERJALANAN dari kota ke kota adalah hal yang mengasyikkan bagi seorang traveller, menikmati sesuatu yang berbeda dan menemukan sesuatu yang baru merupakan kepuasan yang tak ternilai. Nilai jual sebuah kota bagi wisatawan terletak dari kekhasannya, yang tidak ditemukan di tempat lain.


JIKA kita membaca pengalaman perjalanan wisatawan yang menyusuri objek wisata di kota-kota Asia dari Singapura, Malaysia, Seoul dan kota-kota di Jepang, misalnya, hal yang paling mendukung bagi wisatawan adalah moda transportasinya. Destinasi objek wisata begitu mudah dan ‘conected’ cukup dibantu google map, kita sudah bisa menjelajah ke tujuan yang kita kehendaki. Para wisatawan dengan mudah menggunakan subway.

Demikian pula di kota-kota Eropa, moda transportasi menjadi point utama untuk melayani wisatawan. Di Luxembourg, negara terkecil di Eropa yang diapit oleh Jerman, Belgia dan Perancis, lebih mengandalkan Bus sebagai moda transportasinya, karena daerahnya yang berbukit-bukit dan objek wisata andalannya adalah kota tua diperbukitan. Lain halnya, di Jenewa-Swiss atau di kota Amsterdam yang lebih mengandalkan Trem sebagai moda transportasi untuk melayani wisatawan. Sedangkan di Paris mengandalkan subway.

Transportasi kota menjadi hal penting untuk melayani wisatawan. Dari sekian banyak moda transportasi di atas, desain stasiun subway di Paris yang sangat berbeda. Meski subway lahir di zaman modern, Paris seolah-olah tidak mau latah, mengekor dari kota-kota lainnya, ekspresi seni sangat menonjol. Paris tetaplah Paris dengan kreativitas senianya sudah tidak di ragukan di dunia, kotanya sang maestro Pablo Picasso berkarya. Seakan ingin terus memperkuat integrasi dan kekuatan karakter kota klasiknya, stasiun-stasiun subway di desain dengan kebebasan seni, tapi tidak murahan. Dan ini tidak ditemukan di desain subway di kota-kota manapun.

Pengalaman demikian diperlukan oleh seorang wistawan ketika berkunjung dari satu kota ke kota lain. Ada memori yang bisa dikenang dan tidak ditemukan ditempat lain. Membangun karakter kota menjadi sangat penting sebagai nilai jual bagi wisatawan.
Jembatan pelangi di Banjarmasin hari ini atau dikenal juga Jembatan Merdeka. Menjadi menarik dikupas ketika di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata mencatnya dengan motif warna-warni sumbangan dari pengusaha cat, atau lebih keren disebut dana CSR. Setelah tulisan singkat saya di media sosial (saat itu melalui WhatsApp) direkam oleh sahabat wartawan jejakrekam.com banyak menuai pro dan kontra.

Menggunakan berbagai instrumen dan sudut pandang yang berbeda-beda, memunculkan beragam persepsi. Hal itu tidak mengejutkan, karena elemen kota tidak bisa dipandang secara tunggal tetapi jamak. Ketika jembatan itu di cat, maka dia akan mempengaruhi lingkungan sekitarnya. Bagi mereka yang pernah belajar ilmu estetika atau setidaknya mengerti tentang nilai-nilai dan takaran keindahan maka akan tergelitik untuk berkomentar atau sekadar tersenyum.

Namun di luar dari itu, perancangan kota tidak bisa ‘sembarangan’ apalagi jika kawasan itu terletak di jantung kota. Perencanaan kota di Indonesia sudah diatur dan dilindungi secara hukum. Dasar hukum perencanaan di Indonesia adalah: Pembukaan UUD 45 Alenia 4 dan Pasal 33 ayat 3. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yakni Pasal 1 angka 25 yang berbunyi: “Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintah, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Perencanaan tata ruang kota tidak dapat  dilepaskan daripersoalan pengaturan tata ruang secara umum, karena keduanya saling terkait dan integral”.

Dan diperjelas dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 34 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Perkotaan. Pada Pasal 15 ayat 1 disebutkan: “Perencanaan pembangunan Kawasan Perkotaan didasarkan pada kondisi, potensi, karakteristik kawasan, dan keterkaitan dengan kawasan di sekitarnya”. Serta ayat 2 menyebutkan: “Keterkaitan pembangunan Kawasan Perkotaan sebagaimana dimaksud ayat 1 harus memperhatikan: a) keterpaduan pembangunan antar kawasan perkotaan dengan kawasan perkotaan lainnya; dan b) optimalisasi peran dan fungsi masing kawasan perkotaan.

Dari undang-undang dan peraturan tersebut di atas, sudah sangat jelas dinyatakan bahwa integrasi atau integral kawasan harus kuat sehingga kesesuaian dengan lingkungan sekitar bisa terjalin. Seperti tulisan saya yang telah dimuat oleh jejakrekam.com: munculnya secara tiba-tiba warna pelangi di Jembatan Merdeka tidak didasari oleh konsep yang kuat, hanya sekedar ingin menyampaikan motif sasirangan bagi wisatawan yang berkunjung d ikawasan ruang publik Siring Tendean dan Sungai Martapura.

Banjarmasin ke depan harus lebih berhati-hati dalam menata pusat kotanya. Membangun karakter kota yang diperkuat dengan elemen-elemen yang saling terintegral, tidak berdiri sendiri. Jika tujuannya untuk menarik wisatawan, maka masih banyak unsur lain yang mesti dibenahi seperti moda transportasi yang saya jabarkan diawal tulisan ini. Untuk itu, perlu terobosan-terobosan untuk penataan spasial kota yang lebih terintegrasi untuk kenyamanan atau lebih humanis dengan memperhatikan dan membenahi hirarki perencanaan.

Hirarki perencanaan dalam kawasan perkotaan harus mengacu pada 3 tingkatan, tingkatan dari paling luar adalah City Planning, Urban Design dan Architecture Design. Property kota yang dikelola oleh pemerintah wajib memperhatikan kaidah Architectur Design dan Urban Design lalu kemudian dilihat secara makro di City Planning, Apakah Banjarmasin sudah melakukannya?
Selanjutnya, Banjarmasin setidaknya memiliki masterplan tentang keindahan kota yang berakar dari nilai-nilai sejarah, budaya dan sosial sehingga kedepannya tidak gagap dalam pembangunan. Caranya adalah mengembangkan potensi-potensi vocal point kota. Hal ini diterapkan di kota Paris.

http://jejakrekam.com/2017/12/05/dari-paris-ke-jembatan-pelangi-banjarmasin/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemko Layani 335 Pengaduan Online, Akbar Rahman : Banyaknya Pengaduan Bukan Standar Baiknya Layanan Publik

Belajar dari Jepang, Begini Harusnya Warga Urban Banjarmasin Kelola Kantong Plastik