Global Warming Dosa Kolektif Pembangunan
Apa itu Global Warming?
Global Warming atau biasa juga disebut pemanasan global yang disebabkan oleh emisi gas buang CO2 yang tak terkendali dari aktivitas manusia di muka bumi, menimbulkan efek rumah kaca sehingga radiasi matahari yang masuk ke atmosfir bumi tidak kembali terpantul ke angkasa luar melainkan tetap berada di atmosfir karena di ‘ikat’ oleh CO2 yang meningkat dipermukaan bumi. Akibatnya naiknya suhu permukaan bumi dari waktu ke waktu. Meningkatnya suhu permukaan bumi ini menyebabkan mencairnya es di kutub, meningkatnya permukaan air laut, pergeseran musim, terjadinya deposisi asam, penipisan lapisan ozon.
Sebuah penelitian baru-baru ini menyebutkan bahwa luas lapisan es di Greenland yang mencair bisa mencapai dua kali luasan Amerika Serikat, dengan kecepatan mencair tahun 2007 lebih tinggi dari rata-rata 1988 hingga 2006. Dengan menggunakan data citra satelit, para peneliti Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) membandingkan rata-rata salju yang mencair di Greenland tiap tahunnya, sejak tahun 1988 hingga 2006. Seperti dikutip dari laman www.livescience.com, para peneliti mendapati bahwa salju yang mencair, ditambah data pada musim panas tahun ini, menunjukkan tren meningkat. Pada tahun 2007 saja, laju pencairan es di Greenland ternyata 150 persen lebih tinggi daripada rata-rata pencairan selama durasi pemantauan. Indeks pencairan es di Greenland - indikasi yang menunjukkan lokasi es mencair berikut periode waktunya - di kawasan yang ketinggiannya di atas 1,2 mil dari permukaan laut pada tahun 2007 menunjukkan angka yang lebih tinggi daripada kondisi normal. Pada tahun 2007, proses mencairnya es di kawasan ini berlangsung 25-30 hari lebih lama dibanding rata-rata selama 19 tahun terakhir.
Oleh karena itu, demi kelangsungan hidup manusia kita harus segera berupaya mengurangi kegiatan yang mengeluarkan emisi gas CO2 penyebab efek rumah kaca guna menghambat laju terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklim dalam prosesnya terjadi secara perlahan sehingga dampaknya tidak langsung dirasakan saat ini namun akan sangat terasa bagi generasi mendatang. Jadi, kalau tak mau kualitas hidup manusia anjlok sampai titik nadir, jangan main-main dengan perubahan iklim yang disebabkan oleh global warming.
Global Warming atau biasa juga disebut pemanasan global yang disebabkan oleh emisi gas buang CO2 yang tak terkendali dari aktivitas manusia di muka bumi, menimbulkan efek rumah kaca sehingga radiasi matahari yang masuk ke atmosfir bumi tidak kembali terpantul ke angkasa luar melainkan tetap berada di atmosfir karena di ‘ikat’ oleh CO2 yang meningkat dipermukaan bumi. Akibatnya naiknya suhu permukaan bumi dari waktu ke waktu. Meningkatnya suhu permukaan bumi ini menyebabkan mencairnya es di kutub, meningkatnya permukaan air laut, pergeseran musim, terjadinya deposisi asam, penipisan lapisan ozon.
Sebuah penelitian baru-baru ini menyebutkan bahwa luas lapisan es di Greenland yang mencair bisa mencapai dua kali luasan Amerika Serikat, dengan kecepatan mencair tahun 2007 lebih tinggi dari rata-rata 1988 hingga 2006. Dengan menggunakan data citra satelit, para peneliti Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) membandingkan rata-rata salju yang mencair di Greenland tiap tahunnya, sejak tahun 1988 hingga 2006. Seperti dikutip dari laman www.livescience.com, para peneliti mendapati bahwa salju yang mencair, ditambah data pada musim panas tahun ini, menunjukkan tren meningkat. Pada tahun 2007 saja, laju pencairan es di Greenland ternyata 150 persen lebih tinggi daripada rata-rata pencairan selama durasi pemantauan. Indeks pencairan es di Greenland - indikasi yang menunjukkan lokasi es mencair berikut periode waktunya - di kawasan yang ketinggiannya di atas 1,2 mil dari permukaan laut pada tahun 2007 menunjukkan angka yang lebih tinggi daripada kondisi normal. Pada tahun 2007, proses mencairnya es di kawasan ini berlangsung 25-30 hari lebih lama dibanding rata-rata selama 19 tahun terakhir.
Oleh karena itu, demi kelangsungan hidup manusia kita harus segera berupaya mengurangi kegiatan yang mengeluarkan emisi gas CO2 penyebab efek rumah kaca guna menghambat laju terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklim dalam prosesnya terjadi secara perlahan sehingga dampaknya tidak langsung dirasakan saat ini namun akan sangat terasa bagi generasi mendatang. Jadi, kalau tak mau kualitas hidup manusia anjlok sampai titik nadir, jangan main-main dengan perubahan iklim yang disebabkan oleh global warming.
Peran serta Indonesia
Isue global Warming atau pemanasan global adalah ancaman besar bagi peradaban manusia di bumi. Isue ini jauh lebih membahayakan dari pada isue politik terorisme yang di lancarkan Amerika Serikat. Namun, masyarakat dunia sendiri masih berbeda pandangan melihat fenomena global Warming. Silang pendapat negara-negara maju dan berkembang tidak dapat dihindari. Negara maju berpandangan negara berkembanglah yang memberikan kontribusi terbesar, penyumbang panas bumi akibat dari ekspolitasi pembangunan alam yang tidak taat prosedur. Sementara negara-negara berkembang berpendapat bahwa gas buang dari industri-industri negara majulah yang menyebabkan bumi semakin panas.
Saling tuding dan mencari kambing hitam serta tidak taat prosedur ini jugalah yang menyebabkan Traktat Kyoto tidak berjalan sempurna. Usaha yang mengaharuskan negara-negara untuk mulai mengurangi keluaran CO2 semakin ditekan dari akhir tahun 90-an hingga tahun 2012, sampai sekarang belum terlihat hasilnya.
Langkah maju coba diambil oleh Indonesia untuk tidak terjebak dalam dikotomi perbedaan pandangan tersebut. Seperti yang diungkapkan presiden Susilo Bambang Yudoyono dipertemuan tingkat tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa ke 62, 24 September 2007. Pemerintah RI mengajak negara-negara untuk mencoba ”berpikir di luar kotak”. Seperti yang dilangsir kantor berita Antara tanggal 25 September 2007, "Saya yakin kita bisa dan kita akan dapat menanganinya. Tapi yang pertama, kita harus berani berpikir di "luar kotak" . Kita semua harus memperkaya perspektif dan menggunakan pendekatan segar sementara tetap menjunjung prinsip `tanggung jawab bersama dan berbeda", kata Yudoyono.
Memang sewajarnyalah Indonesia wajib memberikan kontribusi maksimal terhadap global Warming. Karena kita merupakan salah satu negara yang meyumbang CO2 terbesar dimuka bumi, mulai dari CO2 yang dihasilkan dari kebakaran hutan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan daerah-daerah lainnya yang terjadi setiap tahun. Selain itu juga tercatat bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia mendapat nilai rendah dari Asian Corporate Governance Association (Asosiasi Pengelola Perusahaan Asia) yang berpusat di Singapura, terhadap kepedulian lingkungan, di keluarkan tanggal 26 September 2007. Ditambah lagi moda transportasi, pertambangan dan energi, serta bangunan-bangunan yang memiliki penggunaan energi yang tidak efisien. Dampak dari semua itu kita telah mengalami Kekeringan, gagal panen, krisis pangan dan air bersih, hujan badai, banjir dan tanah longsor, serta wabah penyakit tropis.
Selain itu indonesia juga akan berperan dalam pertemuan tingkat dunia tentang "Millenium Global Devepeloment Goals" dengan isu utama "Global Climate Change"। Dimana Indonesia mengusulkan gagasan tentang pembentukan Forum Negara-negara yang Memiliki Hutan Hujan Tropis (Forestry Eight), sebagai salah satu upaya mengatasi pemanasan global. Memang langkah itu patut didukung mengingat 25 persen dari seluruh emisi global berasal dari masalah-masalah kehutanan, sedangkan 75 persen berasal dari emisi yang ditimbulkan industri, pertambangan dan energi, serta limbah rumah tangga.
Isue global Warming atau pemanasan global adalah ancaman besar bagi peradaban manusia di bumi. Isue ini jauh lebih membahayakan dari pada isue politik terorisme yang di lancarkan Amerika Serikat. Namun, masyarakat dunia sendiri masih berbeda pandangan melihat fenomena global Warming. Silang pendapat negara-negara maju dan berkembang tidak dapat dihindari. Negara maju berpandangan negara berkembanglah yang memberikan kontribusi terbesar, penyumbang panas bumi akibat dari ekspolitasi pembangunan alam yang tidak taat prosedur. Sementara negara-negara berkembang berpendapat bahwa gas buang dari industri-industri negara majulah yang menyebabkan bumi semakin panas.
Saling tuding dan mencari kambing hitam serta tidak taat prosedur ini jugalah yang menyebabkan Traktat Kyoto tidak berjalan sempurna. Usaha yang mengaharuskan negara-negara untuk mulai mengurangi keluaran CO2 semakin ditekan dari akhir tahun 90-an hingga tahun 2012, sampai sekarang belum terlihat hasilnya.
Langkah maju coba diambil oleh Indonesia untuk tidak terjebak dalam dikotomi perbedaan pandangan tersebut. Seperti yang diungkapkan presiden Susilo Bambang Yudoyono dipertemuan tingkat tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa ke 62, 24 September 2007. Pemerintah RI mengajak negara-negara untuk mencoba ”berpikir di luar kotak”. Seperti yang dilangsir kantor berita Antara tanggal 25 September 2007, "Saya yakin kita bisa dan kita akan dapat menanganinya. Tapi yang pertama, kita harus berani berpikir di "luar kotak" . Kita semua harus memperkaya perspektif dan menggunakan pendekatan segar sementara tetap menjunjung prinsip `tanggung jawab bersama dan berbeda", kata Yudoyono.
Memang sewajarnyalah Indonesia wajib memberikan kontribusi maksimal terhadap global Warming. Karena kita merupakan salah satu negara yang meyumbang CO2 terbesar dimuka bumi, mulai dari CO2 yang dihasilkan dari kebakaran hutan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan daerah-daerah lainnya yang terjadi setiap tahun. Selain itu juga tercatat bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia mendapat nilai rendah dari Asian Corporate Governance Association (Asosiasi Pengelola Perusahaan Asia) yang berpusat di Singapura, terhadap kepedulian lingkungan, di keluarkan tanggal 26 September 2007. Ditambah lagi moda transportasi, pertambangan dan energi, serta bangunan-bangunan yang memiliki penggunaan energi yang tidak efisien. Dampak dari semua itu kita telah mengalami Kekeringan, gagal panen, krisis pangan dan air bersih, hujan badai, banjir dan tanah longsor, serta wabah penyakit tropis.
Selain itu indonesia juga akan berperan dalam pertemuan tingkat dunia tentang "Millenium Global Devepeloment Goals" dengan isu utama "Global Climate Change"। Dimana Indonesia mengusulkan gagasan tentang pembentukan Forum Negara-negara yang Memiliki Hutan Hujan Tropis (Forestry Eight), sebagai salah satu upaya mengatasi pemanasan global. Memang langkah itu patut didukung mengingat 25 persen dari seluruh emisi global berasal dari masalah-masalah kehutanan, sedangkan 75 persen berasal dari emisi yang ditimbulkan industri, pertambangan dan energi, serta limbah rumah tangga.
Arsitek Dapat Bagian Dosa?
Arsitek sebagai salah satu ujung tombak pembangunan, wajib bertanggung jawab terhadap langkah-langkah pembangunan yang mengakibatkan peningkatan emisi gas buang CO2. Dalam artikelnya di Kompas, 11 September 2007 Peneliti Utama Balai Besar Teknologi Energi Serpong, Tri Harso Karyono mengungkapkan bahwa arsitek berperan besar dalam memanaskan Bumi. Kekeliruan tangan arsitek akan memanaskan bumi dan berpotensi lebih besar membasmi manusia dibandingkan dengan kemampuan teroris. Beliau mencontohkan bagaimana seorang arsitek merancang kota, mengubah wajah kota, mengukir permukaan tanah kota, tanpa mempertimbangkan penyediaan fasilitas pejalan kaki, jalur khusus sepeda yang mengakibatkan warga kota menggunakan kendaraan bermotor untuk jarak pendek. Arsiteklah yang membuat kota boros energi dan mengemisi banyak CO2.
Arsitek telah lupa dengan norma-norma kelokalan dalam merancang. Satu daerah dengan yang lainnya sama dalam desain, bahan, konstruksi bangunan. Meskipun sebenarnya berbeda karakter. Arsitek telah miskin pemikiran tentang potensi lokal daerah, sehingga membuat bangunan seragam, pola sama, dengan indeks estetis yang juga diseragamkan, misalnya bagaimana konsep minimalis masuk kedaerah-daerah yang memiliki konsep desain yang se’garis’. Padahal setiap daerah memiliki karakter alam, iklim, dan potensi bahan konstruksi yang berbeda-beda.
Kondisi ini melahirkan bangunan-bangunan ‘kotak’, masif, yang membutuhkan penghawaan buatan dan pencahayaan buatan pada siang hari yang maksimal. Arsitek telah melahirkan ruang-ruang yang ber-AC, lampu yang menyala pada siang hari tanpa mencoba untuk membuat penghawaan alami atau memanfaatkan sinar matahari. Gedung-gedung tinggi, kantor-kantor pemerintahan, pusat-pusat bisnis dan sebagainya, telah terbiasa menggunakan energi yang berlimpah. Padahal semua itu bersumber dari eksploitasi alam yang pada akhirnya menghasilkan gas emisi buangan CO2 yang berbahaya itu. Disadari atau tidak kebiasaan ini harus segera direvolusi.
Sebenarnya kita telah kaya akan aturan-aturan, pedoman pembangunan yang mengacu pada pembangunan berkelanjutan atau sustainable architecture, dan analisis terhadap dampak lingkungan (AMDAL) sudah dikenal sejak lama, bahkan menjadi bagian bahan ajar di bangku perkuliahan. Tapi itu kuat sebagai ”macan kertas”, tapi lemah pada implementasinya. Kesadaran akan pentingnya perubahan ini harus secepatnya direalisasikan, reformasi pembangunan, elemen-eleman yang terkait dengan pembangunan harus mengambil langkah-langkah yang signifikan, simultan dan berkesinambungan untuk berupaya mengurangi dampak negatif pembangunan yang menyumbang pemanasan global.
Pandangan Sudarsono SH. tentang Global Warming
Diambil dari executive summary buku: Mengendalikan Dampak Pemanasan Global dengan Kearifan Lingkungan, oleh Sudarsono SH
Degradasi Iingkungan atau menurunnya kualitas lingkungan baik lingkungan fisik, sosial, maupun buatan terjadi hampir merata di berbagai belahan dunia yang mengancam keberlanjutan kehidupan di bumi ini. Kerusakan dan pencemaran lingkungan itu disebabkan pola pembangunan yang dilakukan mengabaikan prinsip-prinsip dasar lingkungan yang tidak lagi memperhatikan keberlanjutan pembangunan (sustainable development). Prof. Dr. Emil Salim menyatakan bahwa pola pembangunan kita selama ini telah melewati ambang batas daya dukung lingkungan atau trash hold lingkungan. Akibatnya, kita pun menuai bencana ekologis di mana-mana.
Semangat eksploitasi sumberdaya alam tanpa memperhatikan kemampuan alam untuk mengembalikan fungsinya seperti semula mengusai paradigma berpikir kita dalam memandang alam semesta. Alam semesta lebih dilihat sebagai obyek atau “budak' untuk memuaskan kebutuhan manusia tanpa melihat alam semesta ini juga punya moral yang tidak bisa diperlakukan sesuka hati. Cara berpikir antroposentris lebih menguasai alam sadar pikir manusia daripada cara berpikir ekosentris dimana alam semesta merupakan pusat kehidupan dan manusia merupakan bagian dari alam ini.
Pendekatan rasionalitas dengan menggunakan sains dan teknologi lebih ditonjolkan tanpa diimbangi dengan sentuhan moral atau etika manakala manusia berhadapan dengan alam semesta. Cara pandang tentang alam yang menyesatkan ini memicu terjadinya kehancuran lingkungan dewasa ini. Akibatnya, terjadilah tragedi ekologi yang ditunjukkan dengan bencana lingkungan dimana-mana baik di tingkat global maupun nasional.
Komentar